Muharram
Muharram*
*)Dosen Kimia FMIPA UNM

Abstrak
Guru merupakan salah satu pilar atau komponen utama yang dinamis dalam mencapai tujuan Pendidikan serta untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Pendekatan yang berorientasi pada perbaikan sarana dan prasarana tidak mampu mengangkat mutu pendidikan secara berarti. Suatu kenyataan di lapangan banyak fasilitas pembelajaran seperti peralatan laboratorium, referensi pustaka, studio atau workshop yang ada di sekolah tidak termanfaatkan secara optimal oleh sekolah. Ruang laboratoium dijadikan ruang kelas, ruang perpustakaan dipersempit dan dijadikan ruang guru bahkan gudang. Salah satu faktor penyebab adalah guru tidak siap untuk memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh berbagai macam proyek yang ditujukan ke sekolah tersebut. Oleh karena itu, maka pencapaian standar kompetensi guru merupakan suatu keharusan. Sebab tanpa ada standar maka jaminan kepada stakeholder tidak mungkin terpenuhi secara optimal. Upaya peningkatan kualitas pendidikan untuk mengangkat dari keterpurukan tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila tidak dibarengi dengan upaya penegakan standar penyelenggaraan pendidikan, standar pelayanan pendidikan serta standar kompetensi guru, standar lulusan dan standar tenaga kependidikan lainnya. Upaya pencapaian standar kompetensi guru diantaranya dapat dilakukan dengan Pendidikan profesi guru.

A. Pendahuluan
Tuntutan terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan asing membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga penyelenggara pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat. Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Pada era sekarang, yang sering disebut era globalisasi, institusi pendidikan formal mengemban tugas penting untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia berkualitas di masa depan. Di lingkungan pendidikan persekolahan (education as schooling) ini, guru profesional memegang kunci utama bagi peningkatan mutu SDM masa depan itu. Guru merupakan tenaga profesional yang melakukan tugas pokok dan fungsi meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik sebagai aset manusia Indonesia masa depan. Pemerintah tidak pernah berhenti berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan kesejahteraan guru. Pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis dalam kerangka peningkatan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, serta perlindungan hukum dan perlindungan profesi bagi mereka. Langkah-langkah strategis ini perlu diambil, karena apresiasi tinggi suatu bangsa terhadap guru sebagai penyandang profesi yang bermartabat merupakan pencerminan sekaligus sebagai salah satu ukuran martabat suatu bangsa.

B. Profesi dan Profesionalisasi Keguruan
Guru profesional memiliki kemampuan mengorganisasikan lingkungan belajar yang produktif. Kata “profesi” secara terminologi diartikan suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kamampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah ada persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.
Dari sudut penghampiran sosiologi, Vollmer & Mills dalam bukunya Professionalization (1972) mengemukakan bahwa profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada di dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, akan tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh, bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh. Kata profesional berarti sering diartikan sifat yang ditampilkan oleh seorang penyandang profesi, berikut implikasinya dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya. Dalam UU No. 14 tahun 2005, kata profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti sifat profesional. Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis ini harus sejalan dengan tuntutan tugas yang diemban sebagai guru.
Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar sendiri maupun melalui program pembinaan dan pengembangan yang dilembagakan oleh pemerintah atau masyarakat. Pembinaan merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, pelatihan, dan pendidikan. Pembinaan guru dilakukan dana kerangka pembinaan profesi dan karier. Pembinaan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada meliputi meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.
Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.
Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.
Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients). Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.
Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.
Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
C. Kurikulum Pendidikan Profesi
Pendidikan profesi ditekankan pada unsur kematangan, keterampilan, dan tanggungjawab. Untuk itu diperlukan waktu yang memadai melakukan latihan, praktek dan magang. Pendidikan profesi dilakukan setelah peserta didik melewati jenjang pendidikan tinggi atau pendidikan akademik. Pendidikan profesi adalah syarat bagi calon guru untuk dapat mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi guru.
Pendidikan profesi keguruan dilakukan dengan cara konsekutif bagi lulusan D2, D3, dan S1. Pendidikan profesi guru tersebut dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi. Pendidikan profesi untuk satu bidang tertentu dilakukan di fakultas yang mengasuh bidang studi tersebut.
Berdasarkan Kepmen No.232 tahun 2000 dan Kepmen No.045 tahun 2002 setiap lulusan pendidikan tinggi termasuk guru sekurang-kurangnya memiliki 5 unsur kompetensi yang mencakup kepribadian, ilmu dan keterampilan, keahlian berkarya, sikap dan perilaku berkarya serta kemampuan berkehidupan bermasyarakat. Apabila acuan ini digunakan mengembangkan kurikulum pendidikan profesi maka setidaknya kurikulum pendidikan profesi keguruan lebih ditekankan pada keahlian berkarya serta sikap dan perilaku berkarya. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan dan merevisi kurikulum pendidikan profesi keguruan adalah
(1) menjalin kemitraan dengan pengguna guru
(2) mencari masukan dari asosiasi profesi keguruan dan asosiasi profesi lainnya yang relevan, dan melakukan task analysis. Dengan cara tersebut, secara akurat dapat dilakukan upaya perbaikan terhadap content dan performance kompetensi yang pada akhirnya berakibat terhadap keharusan untuk melakukan pemutakhiran kurikulum pendidikan profesi seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan profesi.
Apabila dilakukan pemetaan materi kurikulum pendidikan profesi keguruan, maka penguasaan subject matter yang kuat harus didukung oleh keahlian transfer ilmu, keahlian untuk membelajarkan peserta didik, dan kemampuan reflektif untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan. Untuk itulah diperlukan materi Strategi belajar mengajar, Telaah kurikulum, Evaluasi Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas, Microteaching, dan PPL. Agar kedua keahlian tersebut diatas tidak kehilangan roh dan jiwa pendidikan maka perlu diberikan materi yang mendukung sikap dan perilaku berkarya, yakni filsafat dan teori pembelajaran, perkembangan peserta didik, teknologi pendidikan/ pembelajaran serta teknologi komunikasi dan informasi. Untuk memenuhi sasaran di atas, maka kurikulum pendidikan profesi guru perlu dirancang dengan beban studi 36—40 sks.

D. Pendidikan Profesi Guru Untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru
Pemerintah berupaya keras dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Para pendidik diharapkan menjadi pendidik profesional dan menjadi garda terdepan dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Salah satu langkah pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme guru adalah dengan mengadakan sertifikasi guru. Tak hanya itu, ternyata pemerintah juga telah menurunkan peraturan yang mengatur tentang adanya Pendidikan Profesi Guru (PPG).
PPG merupakan program pendidikan setelah S1 yang mencakup keahlian khusus yang terkait dengan kompetensi guru. Merujuk pada Undang-undang No. 20 tahun 2003, bahwasanya pendidikan dibagi menjadi tiga macam, yakni pendidikan akademik misalnya S1, S2, dan S3; kemudian pendidikan profesi misalnya PPG; dan yang terakhir adalah pendidikan vokasi misalnya diploma. Pendidikan profesi guru ini dapat disamakan pula dengan pendidikan profesi psikologi bagi sarjana psikologi yang akan menjadi psikolog, pendidikan profesi dokter bagi sarjana kedokteran yang akan menjadi dokter. Hal ini akan memperluas pilihan bagi seorang sarjana kependidikan, apakah ingin menjadi guru ataukah tidak. Bagi yang ingin menjadi guru, maka harus menempuh PPG terlebih dahulu. Adanya PPG ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Pendidikan profesi guru masih merupakan konsep baru dalam sistem pendidikan Indonesia. PPG dapat ditempuh bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan S1. Tentunya PPG terbuka bagi sarjana apapun yang bidang ilmunya relevan, baik itu sarjana pendidikan maupun sarjana dari ilmu murni. Misalkan, sarjana matematika ingin menjadi guru matematika. Hanya saja, bagi mereka yang berasal dari sarjana ilmu murni, akan berbeda dengan mereka yang berasal dari sarjana pendidikan. Bagi sarjana ilmu murni apabila mengikuti PPG, maka akan terlebih dahulu dikenai matrikulasi atau penyetaraan.
Adanya PPG juga memberikan pilihan bagi sarjana pendidikan untuk tidak mejadi guru. Selain itu, di dalam PPG nantinya juga akan ada PPL yang menjadi bekal bagi guru untuk terjun dalam dunia pendidikan. PPG merupakan syarat utama seorang sarjana S1 untuk dapat menjadi guru. Bagi mereka yang lulus dari PPG akan mendapatkan tunjangan guru dan menjadi guru profesional sebagaimana guru-guru yang telah lulus sertifikasi.

E. Penutup
Pemerintah akan terus berusaha meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 14 Tahun 2005, bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kalifikasi akademik dimaksud diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Disamping berkualifikasi sebagaimana dimaksud, guru-guru dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Implementasi program peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, termasuk sertifikasi guru, akan dilakukan secara bertahap. Tentu saja hal ini mengharuskan partisipasi aktif masyarakat dan terutama penyelenggara pendidikan.